Ada banyak hal yang sering aku rindukan dari masa mudaku, eits bukan berarti sekarang aku sudah tua dan rambutku sudah memutih seperti rambut Daenerys Targaryen sang Mother of Dragon ya. Maksudku adalah masa-masa ketika aku masih duduk di bangku SMP-SMA sekitar tahun 2003-2008 lah atau sebelum ponsel pintar datang menyerang. Pada jaman itu belum ada Oppo yang bikin sang empunya nggak butuh skincare.
Saat itu ponsel yang paling
digandrungi dan ngehits jelas Nokia dengan balutan casing warna-warni yang bisa
diganti dan stiker tertempel di belakang ponsel yang bisa berkedip-kedip jika
ada sms atau telepon masuk. Menyusul di belakangnya ada Sony Ericson, Siemens,
Motorola dan Samsung. Hal yang bisa dilakukan dengan ponsel sejenis itu pun
tidak banyak. Paling hanya sms, telepon, bikin komposer musik dan mendengarkan
radio bagi yang ponselnya masih berlayar hitam putih serta mendengarkan musik
mp3, bermain game java, dan foto dengan kamera vga bagi yang ponselnya sudah
berwarna. Namun justru di situlah letak keindahannya!
Karena hal-hal yang bisa
dilakukan dengan ponsel terbatas dan ponselnya juga nggak pintar-pintar amat,
maka manusia masih lebih banyak berinteraksi dengan manusia lainnya di dunia
nyata. Ruang tunggu dokter atau rumah sakit tidak pernah terasa hening dan
menyesakkan dada karena orang-orang sibuk berbicara dengan orang yang duduk di
sebelahnya, entah itu untuk saling bertukar info pengobatan alternatif maupun
ngarasani mbak suster yang jutek. Acara kumpul keluarga maupun acara
nongkrong bareng teman pun terasa hangat karena semunya sibuk bertukar kabar
cerita, berbagi tips diet, saling mengejek klub bola favorit teman, atau
kedap-kedip pedekate.
Dulu belum ada fitur nearby
Line, boro-boro ada Line. Dulu kalau mau chatting pakainya aplikasi
Mig33, Yahoo Messenger atau Mirc yang chat awalnya pasti dimulai dengan
ASL PLS alias age,sex,live, please alias harus nyebutin umur, jenis
kelamin dan tinggal di mana dengan siapa semalam berbuat apaaaa~. Jadi
kalau misalnya di angkot atau di tempat makan kita melihat ada orang yang kece
dan menarik hati lalu pengen kenalan ya harus pasang muka tembok dan kenalan
langsung! Dulu aku pernah sih kenalan sama mas-mas di sebuah acara antar sekolah, lalu smsan tapi
nggak jadian. Ya ngapain diceritain maliiiiih~
Nah hal-hal itu sebenarnya
yang aku rindukan. Akhir-akhir ini,
di mana-mana sejauh mata memandang pasti orang-orang sibuk menatap layar
ponsel. Seolah-olah kalau di pandangi terus ponselnya bisa berubah jadi emas
ala-ala the Alchemist. Ya bisa aja sih dia baru memandangi harga Bursa Saham
karena dia adalah salah satu nyangkuters di saham gorengan kolesterol tinggi. Cuma sayangnya aku yakin sih kebanyakan pasti
sedang menatap akun-akun gosip, melihat video prank atau videonya raja
petir, stalking sahabat atau mantan di medsos, sedang merasakan jiwa
kemiskinannya menjerit tatkala menatap postingan dan gaya hidup kaum jetset,
sedang menatap grup WA yang lama-lama isinya lelucon garing atau forward-an
surat kepada presiden yang entah kenapa dikirim ke grup whatsapp ibu-ibu
komplek.
Awalnya pemandangan itu
hanya aku temui di ruang-ruang tunggu
atau di dalam KRL atau transportasi umum lainnya. Wajar karena ditempat-tempat
tersebut kebosanan pastilah menusuk dada. Namun lama-lama fenomena itu menjadi
kebiasaan yang mengisi acara-acara pertemuan, ruang-ruang keluarga, tempat
makan, cafe, tempat ibadah, sekolah bahkan kutemui di ranjang! Harapannya
sebelum tidur bisa pillow talk romantis ala-ala film Hollywood dengan
pasangan sirna sudah, kenyatannya sang suami sibuk main game dan sang
istri sibuk nyari diskonan e-commerce. Anaknya? Nonton youtube dong.
Dari yang awalnya biasa saja, lama - lama pemandangan ini kok jadi nyepeti
mripat ya?
Aku sendiri paling sebal
kalau bertemu orang yang tak bisa lepas dari ponselnya padahal sedang bekerja.
Pernah aku sedang manicure di sebuah salon kuku di Jogja, lalu
mbak-mbaknya nguteks kukuku sambil video call dengan pacarnya. Aku antara jengah karena seolah menjadi pihak ketiga (yang katanya adalah
setan) dalam hubungan mereka, juga risih dan khawatir kalau kuteks yang
dia pasang malah mbrudul karena mbaknya nggak konsen. Aku juga sebal
kalau misalnya janjian dengan teman untuk ketemu, bukannya haha hihi ngobrol
sama aku eh dianya malah sibuk dengan ponselnya. Ya chat dengan orang lainlah,
foto makanan kami lah, atau ngajakin foto bareng. Habis itu pulang. Ngapain
ngajak aku ketemuan kalau akhirnya cuma foto bareng lalu pulang hei? Kalau
cuma pengen punya foto berdua, mending foto kita di photoshopin aja.
Fenomena ketemu cuma buat
konten atau foto aja sebenarnya banyak kita temui akhir-akhir ini. Sebuah acara
buka bersama misalnya, sudahlah janjiannya lama dan baru terealisasi beberapa
hari menjelang lebaran eh pas akhirnya ketemu hanya di isi dengan acara bikin Instagram
Stories, foto-foto makanan, foto bersama lalu pulang. Nanti di rumah, update
foto disertai tag lokasi dan tag teman yang datang plus caption,
“Indahnya persahabatan, tak lekang oleh waktu.” PREEEEEEEETTTTT~ padahal tadi
nanya kabar aja enggak. Belum lagi yang katanya jalan bareng, tapi waktu ketemu
pada sibuk mainan ponsel, foto ala duck face dan bikin video di bioskop
sambil spoiler filmnya biar dikata update. Hiya Hiya Hiya.
Diakui atau tidak, kita
sekarang memang terjebak dalam gaya hidup seperti itu. Ponsel memberikan suatu
kebahagiaan semu yang membuat kita kecanduan. Entah itu pujian, like,
komen atau follower banyak yang memberi kita sensasi seolah kita adalah
pujaan banyak orang. Kita jadi gelisah jika tak ada notifikasi masuk di ponsel
kita, kita jadi belingsatan ketika internet mati, kita jadi frustasi ketika
angka like di media sosial kita menurun. Beberapa orang malah melakukan
hal aneh-aneh demi mendapatkan kebahagiaan semu tersebut, ada yang selfie
di tempat berbahaya, ada yang naik gunung lalu foto di atas gunung pakai bikini,
ada yang masuk rumah orang tanpa ijin cuma buat selfie, ada yang pakai
barang KW tapai kekeuh itu asli, ada juga yang di sosial media terlihat kaya
raya namun di dunia nyata dikejar-kejar debt kolektor. Semua itu demi konten,
demi like, demi viral, demi terkenal.
Baru-baru ini berhembus
kabar bahwa instagram akan menghapus fitur likenya. Kabar yang
sejujurnya membuat aku lega karena itu berarti orang-orang mungkin akan
berhenti mengejar like. Alasan lainnya karena fitur like di
Instagram yang berupa dua kali ketukan ini sering bikin aku ketahuan stalking
kalau nggak sengaja kepencet. Kan aku gengsi kalau ketahuan stalking
mantan!!!!!
Mungkin kalau fitur like di
sosial media di hilangkan orang-orang akan berhenti ngajak ketemuan cuma buat
foto doang. Mungkin hidup akan sesederhana dulu ketika ponsel tak sepintar
sekarang, rumah akan penuh dengan celotehan keluarga, acara kumpul-kumpul akan
lebih ramai lagi dengan cerita-cerita penuh makna.Tapi kalaupun fitur like
tidak jadi dihapus, mungkin ada baiknya kita yang mengubah diri kita. Belajar
lebih peduli pada keadaan sekitar, belajar menahan godaan untuk dikit-dikit
cekrek dan upload, belajar menahan diri untuk tidak terpaku pada
layar ponsel ketika ada orang di depan kita. Semuanya memang perlu waktu, namun aku yakin kita semua pasti bisa mengubah kebiasaan tersebut perlahan-lahan.