Jangan kebanyakan belajar! said nobody to me. |
Di salah satu foto Instagram Maudy Ayundya ada satu komentar yang menggelitik kalbu. Komentar itu dibuat oleh mbak Najwa Shihab “ Wohooo… have fun @Maudyayundya, jangan kebanyakan belajar!” begitu kira-kira ucap mbak Nana (aduh.. langsung berasa ikrib sama Najwa Shihab akutu). Seperti yang kita ketahui Bersama, Maudy Ayundya adalah salah satu artis tanah air yang cantik, berprestasi dan nggak banyak sensasi. Bayangin aja, dia itu diterima S2 di Harvard University dan Stanford University dan sempet bingung mau milih yang mana. Sementara kamu masih terjebak memilih antara aku atau dia, hilih.
“Jangan kebanyakan belajar!” adalah suatu nasihat yang hampir mustahil kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Malah mungkin akan semakin jarang kita dengar ketika para mama yang mengidolakan Maudy semakin getol kepingin anaknya masuk Harvard University atau Stanford University atau minimal kayak mbak Dian Sastro deh. Bahkan aku yang lahir di jaman Maudy belum jadi idola pun belum pernah mendengar nasihat serupa dari ayah dan ibuku. Nasehat yang sering aku dengar adalah , “Jangan main terus, mau jadi apa kamu nanti???” yang sering ku jawab , “Ya jadi anakmu to…” tapi jawabnya dalam hati doang sih, soalnya aku takut dikutuk jadi famous. Nasehat lain yang sering aku dengar dan tak jauh berbeda adalah “Mbok Kamu itu rajin belajar to nduk, kan bapak pengen besok kalau besar kamu jadi orang”, Astaga.. jadi selama ini ternyata aku adalah bidadari jatuh dari surga di hadapanmu… dan bukan orang. HAHA.
Memang kenyataannya sejak dahulu kala, banyak orangtua yang “melupakan” kalau anaknya adalah manusia yang juga butuh istirahat dan bukan alat atau robot untuk memuaskan ego. Tentunya akan menjadi sebuah kebanggaan jika anak kita bisa meraih prestasi akademik, mahir kayang-salto, fasih bicara dalam 100 bahasa, bisa melukis kayak picaso, pecinta senja dan penikmat puisi, rajin menabung dan seterusnya. Hati kita akan melambung bangga ketika menceritakannya pada orantua lain atau saat pertemuan trah keluarga kalau anak kita bisa a,b,c,d,e. Kita akan merasa menjadi orang tua tersukses di dunia, kita merasa semua uang yang kita habiskan untuk dana pendidikan anak setimpal dengan hasil yang kita dapat. Yah… mimpi dan ambisi yang boleh-boleh saja dimiliki sih sebenarnya asalkan dicapai dengan cara yang benar dan manusiawi.
Coba sejenak kita tengok keadaan si anak, apa kabar dia yang kita banggakan?
Beberapa saat lalu saat mengunjungi pertemuan orangtua murid, guru anakku bercerita bahwa ada beberapa anak yang sempat mogok sekolah. Rupanya mereka terlalu banyak kegiatan les di luar sekolah. Bayangkan, anak usia 3-4 tahun sudah les matematika dan Bahasa inggris! Ya ampun.. jaman aku kecil, umur segitu masih mainan boneka dan masak-masakan pakai tanah. Anak-anak ini kebanyakan belajar dan ketika masuk sekolah TK yang isinya kebanyakan main-main, menempel, mewarnai dan menyanyi mereka jadi bosan. Akibat kebosanan dan frustasi itu mereka jadi ngamuk di sekolah, malas mewarnai, kabur dari sekolah bahkan sampai ada yang muntah-muntah saking stresnya dan tidak bisa menolak suruhan untuk belajar dari orang tuanya.
Jangan kebanyakan belajar adalah nasehat yang sebenarnya memang benar, sebab segala sesuatu yang berlebihan itu memang kurang baik. Anak kita sejatinya punya hak bermain yang sering kita abaikan dan lupakan. Coba siapa yang pernah dengar orangtuanya ngomong “ Ayo bermain yang giat!”Curang sih kalau dipikir, kita para orangtua sibuk menggemborkan hastag #Kurangpiknik #ButuhPiknik tapi anak sendiri lupa nggak dikasih waktu bermain.
Hak bermain anak ini sebenarnya punya banyak manfaat yang sama pentingnya dengan target prestasi akademi yang kita idam-idamkan. Bermain dapat mengasah kecerdasan intelektual dan emosional anak karena saat bermain anak akan belajar tentang ketrampilan hidup (life skill), cara bersosialisasi dengan orang lain, mengembangkan imajinasi, kreativitas dan bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah. Anak dengan mudah menyerap kemampuan dari stimulasi yang ia dapat kala bermain dan dampaknya akan mempengaruhi pertumbuhannya hingga dewasa.
Masih ingat cerita soal bibit unggul maupun cerita lulusan UI dan gaji yang sempat terkenal beberapa saat lalu? Kita semua sepakat bukan bahwa prestasi akademi yang baik tak selalu berkorelasi lurus dengan kemampuan soft skill yang baik. Di sisi lain banyak orang yang bahkan tak kuliah namun memiliki mental oke dan jeli melihat peluang, misalnya Bu Susi Pudjiastuti. Maka memang sudah semestinya study hard diimbangi dengan play hard. Lebih oke lagi kalau bisa belajar sambil bermain dan bermain sambal belajar, aheeyyy~
Tapi gimana dong? Rasanya tuh kurang puas gitu kalau lihat anak cuma rebahan doang, main doang, baca buku nggak pernah, prestasi nggak ada, sekolah juga ogah. Ya kita harus bisa memposisikan diri dalam posisi mereka dong, bayangkan di usia mereka dulu kita paling suka ngapain sih? Apakah saat kita SD dulu kita paling suka suruh belajar aljabar? Ingat, sebagai orang tua kita juga harus bisa menjadi sahabat dan teman anak. Maka, tunjukan pada anak kalau anak perlu belajar namun tak boleh lupa untuk bermain. Kita bisa sesekali ikut bermain untuk meningkatkan bonding kita dengan anak kita dan mengurangi anggaran traveling sendirian. Tega nggak tega, rela nggak rela kita harus mengijinkan anak kita bermain sesekali! Kayak pak Bos yang dengan berat hati tanda tangan ijin cuti kita itu lhoooo. Lagipula memaksa anak belajar terus demi target prestasi tanpa diimbangi dengan kesempatan bermain aku rasa bisa masuk kategori eksploitasi anak, hati-hati nanti anda ditangkap KPAI!
0 komentar:
Post a Comment
Feel free to ask anything, leave your comment. No SARA please :)